Baru-baru ini media memberitakan tentang impor beras. Seperti yang diketahui Indonesia merupakan penghasil beras terbesar, namun kenapa masih impor? Maka dari itu mari kita ketahui alasan-alasan mengapa pemerintah mengimpor beras.
Sebenarnya ini bukan pertama kali terjadi mengenai impor beras. Seperti yang dikutip dari situs Agro Indonesia pada tahun 2015, bapak presiden Jokowi pun mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand. Meskipun tahun 2015 anggaran kementerian pertanian meroket 157% dari Rp. 12,72 Triliun menjadi Rp. 32,81 Triliun. Namun ribuan ton beras (dari rencana 1 juta ton lebih beras impor Vietnam dan Thailand), dipanen di pelabuhan sejak pekan lalu. (sumber: Agro Indonesia / 10/11/15)
Lalu bagaimana dengan tahun ini? Diperkirakan akan mengalami seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun dilihat dari beberapa informasi, banyak menuai pro dan kontra mengenai impor beras tersebut. Baik kita simak tanggapan apa saja, dari beberapa tokoh kita mengenai impor beras.
Pemerintah akhirnya membuka keran impor beras pada awal tahun ini. Keputusan ini tertuang dalam peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2018. (sumber: Kompas/ 15/01/18)
Berdasarkan informasi yang dilansir dari Kompas.com Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan harga beras jenis medium yang banyak dikonsumsi masyarakat selama Desember 2017 naik menjadi 2,66% dari harga Rp. 9,280 per kilogram menjadi Rp. 9,526 per kilogram.
Hal ini tentunya akan merugikan pihak petani. Bagaimana tidak? Panen raya bagi petani diperkirakan akan menghasilkan padi antara bulan februari - maret mendatang. (sumber: VOA Indonesia)
Pengamat menilai kebijakan impor beras yang diambil pemerintah menjelang panen raya akan sangat merugikan petani, apalagi beras jenis khusus yang diimpor pemerintah itu akan dijual dengan harga medium sehingga berpotensi merusak harga pasar beras. (sumber: VOA Indonesia)
Seperti yang kita tahu beras merupakan komoditi utama bagi Indonesia. Beras adalah sumber pangan untuk masyarakat Indonesia, selain jagung dan sagu. Jika kita masih menggantungkan diri dengan mengimpor, tentunya hal ini akan berdampak buruk kepada para petani. Meskipun kementerian pertanian mengklaim kalau stok pasokan beras aman hingga masa panen pada Maret 2018. Namun kementerian perdagangan tetap membuka keran impor beras sekitar 500 ribu ton dari Vietnam dan Thailand, yang diperkirakan akan tiba pada akhir Januari ini. (sumber: VOA Indonesia)
Menanggapi kebijakan ini, wakil presiden pun angkat bicara mengenai impor beras. Bapak Jusuf Kalla mengatakan kalau total masyarakat Indonesia yang kurang lebih 260 juta, menghabiskan beras hingga 28 juta ton dalam setahun.
"Jadi produksi kita paling tinggi 30 juta ton beras, paling tinggi. Begitu sedikit ada yang jelek (kualitasnya) bisa jadi masalah." Jelasnya saat ditemui di kantor Jalan Merdeka Utara, Jakarta (sumber: Viva/ 15/01/18)
Dilihat dari beberapa informasi, ternyata lebih banyak memberi tanggapan penolakan mengenai impor beras ini. Lalu bagaimana dengan solusinya? Berikut komentar dari Cagub Jawa Tengah, bapak Sudirman Said berbicara soal impor beras yang dikutip dari Kompas.com
"Solusinya bukan impor. Itu bukan solusi. Itu hanya malas berfikir dan bekerja mencari jalan keluar." Dikutip melalui siaran tertulisnya. (sumber: Kompas/ 16/01/18)
Mantan direktur PT. Pindad ini mengatakan rencana pemerintah mengimpor beras sama halnya mematikan peluang para petani memproduksi beras. Padahal masa panen petani sebentar lagi. Petani memang selalu menjadi korban dari permainan para saudagar, jelasnya. (sumber: Kompas/ 16/01/18)
Tidak sampai disana saja, tanggapan kontra mengenai impor beras pun berdatangan dari berbagai kalangan.
Seperti bapak Rizal Ramli Mantan Menko Perekonomian, beliau mengatakan "Yang mau terus impor beras brengsek" melalui akun Twitter resminya. (sumber: Viva/ 15/01/18)
Selain itu bapak Rizal Ramli membenarkan hal tersebut. Beliau mengungkapkan bahwa fee yang diperoleh oleh importir beras berkisar antara US$ 20-30 per ton. Sehingga, keuntungan importir akan mencapai Rp. 202 Miliar untuk 500 ribu ton beras yang diimpor. (sumber: Viva/ 15/01/18)
Kebijakan impor beras ini seperti bola panas yang menggiring siapa saja. Pasalnya profesi petani di zaman now, bukan suatu hal yang menjanjikan. Anak seorang petani kini tidak mau lagi melanjutkan profesi ayahnya, mereka lebih memilih melanjutkan pendidikan untuk mendapat suatu pekerjaan yang lebih baik dari orangtuanya. Miris memang, namun itulah kenyataannya. Bagaimanapun pemerintah harus memerhatikan nasib rakyatnya terutama para petani.
Berdasarkan hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Petani tak lama lagi akan 'punah', karena saat ini rata-rata usia petani nasional mayoritas 45 tahun keatas. (sumber: Viva/ 15/01/18).
Dan berdasarkan riset Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, rata-rata usia petani di tiga desa pertanian padi di tiga kabupaten di Jawa Tengah mencapai 52 Tahun. (sumber: Viva/ 15/01/18).
Jika kita tidak mencari solusinya, maka kemungkinan besar kita akan mengalami kekurangan sumber daya pangan. Jangan sampai apa yang menjadi makanan pokok kita sehari-hari, itu membuat kita sulit untuk mendapatkannya. Bukan soal cara mendapatkan (kelangkaan komoditi), namun masalah harga. Sebagai penutup berikut pemaparan dari Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ibu Dr. Enny Sri Hartati
"Normalnya barang beras tiba di pelabuhan mungkin akhir Januari (itu juga dengan proses yang kilat) artinya beras itu menambah pasokan yang ada di pasar beras itu baru pertengahan februari, dua minggu kemudian akhir Februari sudah panen raya. Yang menjadi persoalan di dalam pasar beras itu adalah beras medium. Di beras medium lah pemerintah perlu hadir menstabilkan harganya. Bagaimana mungkin ketika petani panen, ada beras premium yang harganya medium sementara beras para petani pada umumnya kebanyakan beras medium. Siapa yang mau membeli beras petani? Sudah kualitasnya lebih rendah, harganya sama dengan beras kelas premium," tukas Enny. (sumber: VOA Indonesia/ 15/01/18)
0 Comments