CERPEN: LENSA MALAM

"Nasya.. Nasya.. Bangun nak udah pagi. Bantu ibu, kita pergi ke pasar." Ibu memanggilku berulang kali untuk membangunkan aku yang sedang tidur. Sehabis shalat subuh aku malah tertidur, lupa kalau pagi ini harus menemani Ibuku pergi ke pasar buat membeli bahan untuk berjualan.

  Photo Credit By: bestdesktopwallpapersin.blogspot.com

Namaku Annasya Adreena Nhavia, Ibu memanggilku Nasya. Aku tinggal dengan Ibu dan Bibiku di sebuah kontrakan padat penduduk. Setiap hari aku membantu Ibu untuk berjualan makanan di sekolah. Ya, aku sering membawa barang dagangan Ibuku ke sekolah. Syukur-syukur bisa membantu biaya sekolah ku. Kata Ibu, Ayah sudah meninggal saat aku berusia 3 tahun, jadi aku belum mengerti pada saat itu. Sekarang aku bersekolah di MAN (Madrasah Aliyah Negeri) yang ada di Jakarta. Aku kelas XII IPA. Tepat nya sebentar lagi aku mau lulus sekolah, semoga.

  Photo Credit By: ketemulagi.com

Sedikit bercerita tentang masa kecilku. Saat ku kecil aku selalu didandani seperti penampilan laki-laki, entah kenapa Ibuku lebih senang melihat penampilan dengan seperti ini. Aku fikir selama aku bisa melihat Ibu tersenyum, semua akan aku lakukan. Lagipula aku pun nyaman saja tampil dengan penampilan tersebut. "Sya, Ibu minta tolong bawain belanjaan Ibu. Ibu masih mau beli kebutuhan untuk dagangan kita, kamu tunggu bentar disini dulu ya." pesan Ibuku saat di pasar. || "Iya Bu, Ibu santai saja belanjanya. Nasya gapapa kok nunggu disini." jawabku. || "Iya nak." lanjut kata Ibuku. Meskipun aku hanya tinggal dengan orang tua tunggal yaitu Ibuku, aku tetap tidak merasa ada yang kurang. Karena buatku ibu adalah sosok paket lengkap; seorang Ibu sekaligus Ayah yang bisa merawatku dengan baik. Saat sampai dirumah aku bersama Ibu memasak makanan yang akan aku jual nantinya. Tiba-tiba ada seorang perempuan datang ke rumahku, yaitu Bibiku. "Dasar lo brengsek, kere aja maunya tidur sama gue tiap malem. Muke gile lo emang." kata Bibi Lola sambil keadaan mabuk. Langsung saja Ibuku membawanya dia ke kamar agar tidak terlalu dilihat tetangga. Sebenarnya itu sudah pemandanganku sehari-hari, ketika dia ke rumahku. Aku tidak tahu kenapa dia harus tinggal di rumahku, memalukan sekali rasanya punya saudara tepatnya Bibiku memiliki sikap yang tak punya rasa malu itu. Tiap hari Ibuku harus membantunya agar dia sadar dari kondisi mabuknya. Tak jarang aku melihat Ibu sering menangis melihat tingkah Bibiku ini yang benar-benar menjijikan. Aku sudah sering bilang ke Ibu kalau dia lebih baik tinggal ditempat lain saja, memangnya dia tidak mampu apa untuk membayar kontrakan sendiri. Dia kan sudah bekerja, terus kenapa harus masih merepotkan kakaknya yaitu Ibuku. Terus kata ibuku "Kamu ga boleh bersikap seperti itu sama Bibimu, biar gimana pun dia adik Ibu. Dia sama Ibu sudah tidak punya orang tua, jadi mau tidak mau Ibu lah yang ngurusin dia sebagai kakaknya." ucap Ibuku. Lalu aku lanjut bilang "Memangnya dia tidak menikah Bu? Setidaknya dengan menikah, bisa mempunyai keluarga baru." || "Dia baru aja ditinggal suaminya, jadi terpaksa sekarang hidupnya harus menjanda. Sudahlah kamu ga perlu mikirin, biar ini urusan Ibu dengannya aja. Kamu bantu ibu berjualan sama sekolah saja yang bener." Ibu menegaskan pembicaraannya denganku. Ibu bilang seperti itu ya aku harus menurut saja apa perkataannya. Setelah selesai aku memasak makanan yang akan dijual, saatnya aku berangkat sekolah dengan membawa barangan dagangan ibuku.  

 Photo Credit By: palembangtribunnews.com

Hari ini sedang diadakan ujian kelulusan, untungnya aku sudah belajar dirumah. Mudah-mudahan mendapatkan hasil nilai yang baik.

  Photo Credit By: jabar.pojoksatu.id

Selain itu disekolah aku juga mengikuti kegiatan keagamaan, disana lah aku diajarkan ilmu agama sesuai dengan yang ku yakini. Ibu selalu menasihatiku agar selalu mengikuti apa yang diajarkan oleh guruku selama di sekolah. Karena kata Ibu
"Nak, kamu kalau di sekolah tidak usah terlalu fokus sama dagangan Ibu. Kamu fokus saja dengarkan apa yang dikatakan sama ibu bapak gurumu. Apa yang mereka katakan dan ajarkan mungkin bisa berguna buat masa depan kamu, selama ini Ibu tidak bisa mengajarkan kamu menjadi anak yang baik, tapi setidaknya Ibu memberi jalan sama kamu supaya bisa bertemu dengan orang-orang yang baik. Siapa tahu disana kamu akan menemukan hidup kamu yang sesungguhnya. Bergaul dengan siapa saja, tapi asal bisa menempatkan diri. Kamu juga sudah Baligh, jadi ibu rasa kamu sudah lebih mengerti mana yang baik, mana yang tidak." Ucapnya.
Sekarang aku harus bisa menjalani nasihat tersebut.

  Photo Credit By: www.antarasulsel.com

Diluar kegiatan sekolah, aku sering diajak temanku untuk mengikuti kegiatan hobinya yaitu menembak. Ini salah satu jenis olahraga yang aku gemari juga. Hasan selalu mengajakku ke tempat ini, katanya agar aku juga bisa seperti dia, yang sering mengikuti kejuaraan olahraga menembak. Hasan temanku sejak kecil, orangtuanya bertetanggaan dengan rumahku. Ibunya pun kenal baik dengan Ibuku, bedanya dia sekolah di SMA reguler sedang aku di Madrasah. 

Photo Credit By: www.netralnews.com

Kini aku sedang menggeluti hobi aku yaitu pencak silat, aku juga pernah menjuarai pencak silat mewakili sekolahku untuk tingkat nasional.

   Photo Credit By: www.nu.or.id

Aku tiap istirahat selalu menawarkan dagangan ibuku. Aku berjualan makanan aneka gorengan yang digemari anak sekolah. Temanku banyak yang membeli daganganku. Hari mulai sore, saatnya aku pulang kerumah. Aku menemui Ibuku untuk memberi uang hasil dagangan yang aku jual di sekolah. Tiba-tiba Bibiku menyuruhku untuk membeli rokok "Sya, tolong beliin gue rokok dong." ucapnya. || dalam hatiku "Nih orang emang ga ada malu-malunya, masa gue disuruh beli rokok. Yang bener aja." gumamku. Terus aku bilang saja ke dia "Emang Bibi ga bisa ke warung sendiri? Nasya mau mandi, mau istirahat baru juga pulang sekolah." || "Lu kalo disuruh sama gue ya, ga pernah langsung mau jalan. Banyak aja alesannya." katanya. || "Lagian Bibi ngapain nyuruh Nasya  beli rokok, yang bener aja lah." jawabku. Lalu Ibuku mendengarkan pertengkaran kita berdua, Ibu bilang "Yaudah, mana uang nya Sya biar ibu saja yang belikan." ucapnya. Akhirnya Ibuku yang beli rokoknya ke warung. Aku sebenarnya kesal dengan tingkah Bibiku yang suka seenaknya, dan Ibuku selalu saja membelanya. Aku langsung ke kamar saja, lalu Ibu ke kamarku setelah membeli rokok di warung. Ibu bilang sama aku "Sya, kamu ga boleh gitu sama Bibi kamu. Dia lebih tua dari kamu, jadi kamu harus sopan sama Bi Lola." kata Ibuku yang selalu saja baik sama dia dan malah aku yang selalu disalahkan

  Photo Credit By: wallpaperscraft.ru

Bibi Lola memang cantik, tapi hanya saja gaya hidupnya yang tidak aku suka. Aku pernah menanyakan sama Ibu, dia bekerja dimana tapi Ibu menjawabnya tidak tahu. Aku heran saja asal dia ke rumahku pasti dalam keadaan mabuk, lalu Ibuku yang selalu menggotongnya ke kamar. Aku tidak kuat melihat pemandangan seperti ini, belum lagi kalau aku keluar rumah pasti ada saja omongan tetangga yang tidak mengenakkan. Rasanya aku ingin pisah saja tinggalnya, aku mau bicara sama siapa lagi selain Ibuku? Dirumah hanya ada bertiga, semua wanita. Aku tidak bisa minta perlindungan sama orang lain. Aku beraktifitas seperti biasa yaitu sekolah dan mengikuti kegiatan ekskul. Namun aku melihat Ibu sepertinya sedang lagi tidak enak badan, tapi kalau aku menanyakan langsung pasti ibu bilangnya baik-baik saja. Ibu juga hari ini tidak berjualan, katanya mau istirahat dulu besok baru membuatnya lagi untuk berjualan. Ibu bilang sama aku "Nasya, Ibu mau ngomong sesuatu sama kamu tapi Ibu minta kamu jangan marah. Kamu sudah dewasa, jadi Ibu berharap kamu lebih mengerti." tukasnya. || Ada apa ini tidak biasanya Ibu bicara seperti itu, tapi aku jawab saja "Ibu mau bicara apa? Ya InsyaAllah, Nasya ga marah." || "Ibu mau ngasih tau yang sebenarnya, kalo selama ini kamu bukan anak kandung Ibu. Ibu mu yang sebenarnya yaitu Bi Lola, ia yang melahirkan kamu. Dan Ibu itu mamanya dia, jadi kamu itu sebenarnya cucu Ibu." mendengar ucapan ibu aku seperti diajak bercanda, bagaimana bisa? Orang yang merawatku selama ini bilang kalau dia bukan Ibu aku. Dan orang yang jelas-jelas aku benci itu ternyata Ibu kandungku sendiri. Mana mungkin? Aku tidak percaya. Terus Ibu melanjutkan pembicaraannya

"Ya nak, maaf ibu baru memberi tahumu sekarang. Ibu hanya tidak ingin kamu kecewa terlalu lama, dan kamu harus menerima kenyataan dengan lapang. Ibu pesan sama kamu, jangan bertengkar terus dengan Bi Lola yaitu Ibu kamu yang sebenarnya. Ibu terkadang suka sedih melihat kamu berdebat dengannya. Inget Sya, dia itu yang melahirkan kamu. Jadi surga ada ditelapak kakinya. Seburuk apapun perilakunya."

Aku semakin tidak percaya, mau marah? Tidak mungkin. Aku sudah terlalu sayang dengan nenek yang sudah aku anggap sebagai Ibuku selama ini. Lalu bagaimana dengan orang yang aku ajak bertengkar setiap hari? Oh Ya Tuhan, mimpi buruk apa yang aku alami saat ini. Tak sengaja aku melihat bungkusan obat, bertuliskan nama Ibuku. Benar dugaanku, ternyata Ibu baru saja habis dari klinik. Aku tanyakan ke Ibu, Ibu selalu saja menjawab dengan omongan yang membuat ku iba. Jadi tak pernah ada sedikit untuk marah, hanya menahan kekecewaan. Pada akhirnya aku melihat Ibu ku terbaring pucat, si wanita memalukan itu tidak ada dirumah jika dibutuhkan. Aku minta bantuan Hasan saja dan dia mau membawa Ibuku ke rumah sakit. Tiba dirumah sakit, Ibu sedang mengalami kritis. Aku tidak tahu harus seperti apa lagi, langsung saja aku shalat sambil berdoa dirumah sakit menemani Ibuku. Aku yang juga ditemani Hasan dirumah sakit, Ibu tiba-tiba bilang ke dia "Nak Hasan, Ibu tolong titip Nasya ya. Jaga dia baik-baik, Ibu tidak mengharapkan kamu jadi pasangannya karena itu tergantung pilihanmu. Yang Ibu minta tolong hanya agar bisa menemani dan menjaga Nasya seperti adik sendiri. Kalau suatu saat Ibu tidak bisa menjaga nya lagi." Maksud Ibu apa? Aku tak mengerti dengan ucapannya. Aku tidak boleh negative thinking, bisa saja itu hanya pesan biasa. Bukan maksud lain. Beberapa jam kemudian, dokter menginformasikan aku kalau nyawa Ibuku tidak bisa tertolong. Dokter meminta maaf padaku, jika semua itu atas kehendak-Nya. Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku rasa aku hanya hidup sendiri di dunia ini, Ibu kandung? Hah? seperti menjalani mimpi buruk! Sekarang saatnya menjalani kehidupan baru yang tak ku inginkan dimulai.

  Photo Credit By: www.mtlblog.com

Aku coba mencari tahu tentang dimana tempat bekerja bibiku. Tidak, Ibu kandungku. Tak perlu waktu lama, tetanggaku sudah mengetahui semuanya. Ada yang bilang ke aku kalau dia bekerja di tempat hiburan malam. Langsung saja aku datangi dengan penyamaran. Detective get started!

  Photo Credit By: pinterest

Aku memulai penyamaran dengan berpenampilan seperti orang yang sedang ingin menikmati hiburan disana. Tiba disana aku melihat banyak orang yang sedang lompat-lompatan sambil tangannya diangkat, mungkin dia sedang latihan bulu tangkis. Dari jarak jauh, aku seperti melihat Bibi ku. Aku masih belum mau manggil dia Ibu, karena berat sekali rasanya kalau menerima kenyataan never imagined. Aku harus berhadapan dengan orang yang ada di depan pintu club malam itu. Dia bertanya "Lo ngapain diri disitu? Ga masuk?" || "Ga disini aja, lagi nunggu temen. Bentar lagi dia kesini." ucapku yang langsung pergi saja padahal itu cuma alasanku, hari pertama aku cukup mengetahui lokasinya saja. Hari selanjutnya baru aku akan menemui Ibu ku yang sedang asyik dengan dunianya itu disana. Keesokan harinya aku kesana lagi, untuk memastikan keadaan dia. Sampai saat ini dia belum tahu kalau nenek; Ibu kandungnya meninggal. Sudah ku bilang dia sedang asyik dengan dunianya, sampai-sampai Ibu nya sendiri meninggal pun tak mengetahui. Hasan sering menanyakan aku, mau pergi kemana malam-malam. Tapi aku bilang saja ada urusan sebentar, aku tidak minta ditemani dia. Padahal nenek aku menitip pesan agar dia menjagaku. Dan saat aku sampai disana lagi, ternyata Ibuku sudah sadar kalau aku datang ke tempat kerjanya. Dia langsung menemuiku di depan, "Eh, sorry ya stop dulu musiknya. gue mau kedepan bentar." lalu dia bilang ke aku "Ngapain lo kesini? Bukannya dirumah lo. Tau dari mana kalo gue ada disini? Mending lo balik deh." || "Kaga penting gue tau dari siapa, jadi ini pekerjaan lo selama ini pantes aja tiap hari kerjaannya ngerepotin nyokap gue mulu." || "Eh anak kecil sok tau lo, kalo gatau apa-apa jangan asal ngomong. Lagian siapa yang nyuruh lo dateng kesini, gue bilang lo balik aja. Ngeyel ya nih anak, nyokap lo ga nyariin lo anak kecil? Biasanya juga gue kerumah, lo ngajak gue berantem mulu. Ini tumbenan malah dateng kemari." || "Makanya lo tuh kerumah biar tau, jangan jingkrak-jingkrakan disini mulu lo." . Tiba-tiba teman prianya mendatanginya "Ada apa nih? Siapa dia 'yang?" tanyanya ke Ibuku || "Bukan siapa-siapa, tau ga kenal gue." jawab dia. || "Gue balik tapi lo harus pulang besok." kataku. || "Iya udah balik sana. Bikin rusuh aja anak kecil." tanggapnya. || "Dia siapa sih? Kok nyuruh kamu pulang?" penasaran teman prianya itu. || "Udah gue bilang bukan siapa-siapa, cuman anak nyasar." lanjut Ibuku. || "Okey, berarti bisa lanjut party nya." ujar pria tersebut. Besoknya Ibuku benar datang ke rumah, tapi tetap seperti biasanya yang sampai rumah langsung menyapa lantai duluan. Aku diamkan saja, biar dia sadar sendiri. Ternyata dia malah teriak-teriak seperti orang gila memanggil nenekku yang sudah tiada. "Ka Lisa.. Ka Lisa... Kaaakkk....!! Mana sih nih orang? Biasanya udah nganter gue ke kamar." Lalu aku mengambil gagang sapu untuk menyadarkan dia dari mimpinya semalam. Sambil ku bilang "Woy, sadar woy.. Lo ngapain di lantai kayak gitu. Ngarep nyokap gue bakal gotong lo lagi? Mending sekalian lo sapuin nih lantai, gue udah ambilin sapunya..!!" habis itu ku pergi tinggalin dia. || "Apa-apaan nih, dasar anak songong. Nyokap lo mana emang? Ga biasanya dia cuekin gue kaya gini." ucapnya. Hari demi hari aku lewati dengan Ibu kandungku yang sebenarnya, aku masih tetap saja belum menerima keadaan ini. Dia orangtua nya meninggal aja tidak peduli, hanya tersadar akan kepergiannya saja. Aku mencoba untuk menemuinya lagi di tempat kerjanya. Dan lagi-lagi aku harus menemui teman pria nya itu. || "Eh, dia lagi. Lo dari pada diluar, mending ikut kita masuk, kita party bareng. Yuhuuu.." dia menawariku untuk latihan olahraga melompat, sambil merangkul bahuku. || "Apaan sih lo lepasin ga..!!" || "Wah, blagu juga nih anak." || "Jangan macem-macem lo, belom kenal siapa gue." ucapku yang melepas tangan dia. Lalu dia malah mengajakku bertarung "Yang kaya gini nih yang gue suka, ayolah anak kecil gue mau liat sampe dimana nyali lo." ujarnya, namun langsung dipisahkan oleh Ibu ku "Udah ngapain sih lo masih nanggepin anak kecil.". Omongannya tetap tak dipedulikan, dia masih saja ingin mengajakku bertarung hingga akhirnya perkelahian ku dengannya tak bisa di hindarkan. "Udaaaahh, stoooppppp...!!!" Ibuku pun akhirnya tak tahan melihat sikap pria nya itu. Sampai pada akhirnya pria itu kalah bertarung denganku, namun ternyata dia pecundang. Tak sampai disitu saja perkelahianku dengannya, kawan-kawannya langsung melihat kejadian pertengkaranku, lalu apa yang terjadi berikutnya? Aku harus melawan mereka 1 lawan banyak, aku mau beranjak pergi namun keadaan sudah terkepung, aku bilang saja sama mereka "Ayolah kalau kalian memang berani harusnya 1 VS 1, bukan keroyokan kayak gini. Kalo ini namanya gotong royong." ucapku. Perkelahian dimulai "Shhyaaaaaaaasshhh...zzz!!!" Lalu dari belakang sudah ada yang langsung menyerangku, hingga pada akhirnya aku harus terkena pukulan. Tiba-tiba seseorang datang untuk membantuku, kalian tahu siapa orang nya? True, Hasan. Dia berusaha melawan mereka yang menyerangku sendirian hingga terjatuh. Namun aku langsung terbangun untuk melanjutkan pertarungan ku dengan manusia pecundang itu, dan akhirnya kita berdua melakukan serangan balik ke mereka. Untungnya kita berdua terselamatkan, lalu Aku dan Hasan langsung saja bergegas pergi dari tempat tersebut tanpa memerdulikan Ibuku. Sampai dirumah, aku diobati oleh Hasan akibat luka yang terkena pukulan dari mereka yang mengajakku bertarung. Hasan bilang "Kau ngapain lagi ketempat itu? Aku sudah curiga dari awal kalo kamu pasti ke tempat yang berbahaya itu. Udah gitu kau juga tidak mau aku temani pula. Untung ga kenapa-kenapa, kalo terjadi apa-apa gimana? Nyari mati aja kamu Sya." ujarnya yang sambil kesal. Aku hanya bilang ke dia kalau besok saja aku menceritakan semuanya dan juga berterima kasih karena dia sudah menolong serta mengobatiku akibat perkelahian tadi. Ternyata Hasan sudah mengikuti ku dari belakang, tiap kali aku ke tempat kerja Ibuku. Dia selalu teringat pesan nenekku yang selalu meminta tolong padanya agar menjaga ku. Esoknya Ibuku terkapar lagi dilantai, itu kebiasaannya sehari-hari yang membuatku geram. Akhirnya sekalian saja aku seret ke kamar mandi untuk ku siram muka nya itu, sayangnya aku tidak bisa berbaik hati seperti yang nenek lakukan pada nya. Aku tidak bisa menggotong nya ke kamar, lalu menyiapkan makanan untuknya. Tak bisa, sangat tidak bisa. aku harus bisa menyadarkannya dengan caraku sendiri. Aku bilang ke dia "Lo itu udah tua, bukannya mikir. Sekarang kaga ada lagi nyokap lo yang bisa lo teriakin, lo suruh-suruh seenaknya. Masih untung lo sama gue walaupun ga gue urusin sepenuhnya kaya almh. nenek. Karena gue sekolah, ga mungkin gue ngurusin hidup orang yang dia aja ga peduli sama dirinya sendiri." ucap nada tinggiku, dengan luka perban yang belum kering. Aku sadar, bahkan menyesal karena sudah meneriaki Ibu kandungku sendiri. Namun aku sudah tidak tahan dengan sikapnya yang membuatku malu pada tetangga. Malam hari menjadi yang kelabu bagiku, meskipun ada cahaya bintang dan bulan yang menghiasi langit. Tapi itu tidak cukup mempengaruhi kehidupanku, aku harus melihat Ibuku yang malam nya menemani tiap tamu yang datang. Bahkan sejak nenek meninggal, dia malah semakin berani membawa laki-laki nya ke kontrakan. Kurang hajar bukan? Aku langsung disuruh tinggal sementara saja dirumah Hasan. Ibunya sangat mengerti kondisiku saat ini, dia juga peduli denganku. "Nasya, untuk sementara ini kamu tinggal dirumah Hasan dulu gapapa. Nanti kalo udah membaik kondisi dirumah, terserah kamu mau tetap tinggal disini apa pulang ke rumahmu. Kebetulan kamarnya Novan kosong, kamu bisa tidur disana." ucap Ibunya Hasan. Ya memang kebetulan kakak nya Hasan sedang berkuliah diluar kota, jadi ada kamar kosong dan aku bisa menumpang tinggal dirumahnya. Sebenarnya yang membuatku malu ya seperti ini, aku harus menumpang dirumah orang lain meskipun hanya untuk sementara. Dan juga tak jarang aku melihat kejadian langsung Ibuku itu melayani atau sekedar mengajak ngobrol dengan tamunya di depan mataku. Aku harus melihat realitanya, ternyata ada beberapa laki-laki yang ditemani Ibu kandungku melakukan hal yang kasar. Kehidupan di luar memang lebih menyeramkan dibanding hidup di hutan belantara. Aku tak tau harus merasakan hal yang mana antara kesal atau sedih melihat kejadian ini. Aku selalu mencari cara agar Ibuku terbebas dari jeratan tersebut. Tapi gimana caranya? Aku harus memiliki nyawa berapa untuk berhadapan dengan mereka?

  Photo Credit By: madisonmovie.com

Setiap kali ku harus menggotong dia yang dalam keadaan mabuk, aku selalu teringat akan nenekku, yang selama ini aku anggap sebagai Ibu sendiri. Ibu yang selalu merawat ku dengan baik, tapi kenapa tidak dengan kenyataan seorang Ibu kandungku sendiri? Aku harus melalui kehidupan bersamanya penuh kepahitan. Aku harus menunggunya tiap malam di sudut club malam itu, agar saat Ibu dalam keadaan tidak sadar ada yang membawanya kerumah. "Haduuhhh..!! nih nyokap lo..!! Untung ada lo sekarang, jadi gue ga perlu nganterin dia sampe rumah lo lagi. Sebenernya cape banget gue kalo tiap hari harus gotong nyokap lo mulu yang lagi mabok." kata penjaga club. Selama ini yang membawanya dia kerumah ku itu orang yang berjaga di depan club itu, dari dia lah aku tau semua informasi tentang apa dan siapa saja pria yang dilayani oleh Ibuku.

 Photo Credit By: islamtimes.org

Setelah selesai kegiatan olahraga menembak bersama Hasan, lalu aku sengaja tidak langsung pulang dulu. Aku menyuruh dia untuk pulang duluan, dan Hasan sepertinya mengerti keadaan ku sekarang. Setelah semua yang bermain selesai akhirnya pada meninggalkan tempat, hanya aku yang masih ditempat ini untuk merefleksikan diri dari seluruh pengalaman hidupku. Aku berfikir kenapa harus aku yang menjalani hidup seperti ini? Kebohongan hanya menyelamatkan sementara. Saat semuanya ku ketahui, aku secara tidak langsung dipaksa agar mau menjalani nya semua ini. "Ya Tuhaaaan, kenapa hidupku seperti ini? Ada Apa sebenarnya dengan diriku? Kesalahan apa yang membuat ku bisa menjadi seperti ini......." teriakku sambil bertanya pada Tuhan. Aku menanyakan pada Tuhan, kenapa aku diberikan sesuatu yang menurutku itu tidak adil. Aku tidak pernah mengeluh hanya karena memiliki orang tua satu yaitu nenek yang pernah menjadi Ibuku. Tapi yang tidak aku terima sampai saat ini, kenapa aku harus mengalami sebuah kenyataan yang pahit? Aku harus menerima kenyataan kalau Ibu yang sebenarnya adalah orang yang selama ini aku benci. Yang tidak sejalan denganku. Kenapa? Kenapa? Tanyaku selalu pada Tuhan. Kita memang tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari orangtua seperti apa, namun kita masih bisa mengubah nasib kita diri sendiri. Ya, aku masih mempercayai akan nasibku. Mulai sekarang, aku harus bisa mengubah cara pandangku. Biarkan ini menjadi bagian hidupku, asalkan aku bisa memperbaikinya. Aku pernah membaca salah satu tulisan yang isinya seperti ini "Nasib orangtua dengan anak itu memiliki jalan yang berbeda. Jadi kalau orang tua mempunyai masalah di keluarganya, anak tidak akan ikut mengalami kehidupan yang sama seperti orangtuanya tersebut." membaca tulisan itu membuatku berharap semoga saja kehidupanku itu benar lebih baik dari Ibu kandungku yang sekarang. Hasan pun sudah mengetahui semuanya seperti yang ku ceritakan ke dia kemarin, dan niatnya ia ingin membantu Ibu ku agar bisa lepas dari tempat tersebut. Setidaknya aku ingin menolong orangtua ku sendiri, aku tidak ingin Ibu kandungku sendiri yang malah bernasib buruk. Sampai pada akhirnya dia mau menjalani shalat, mengaji. Itu atas dasar keinginannya sendiri, bukan aku yang memintanya. Mungkin juga dia sadar, karena selama ini biarpun aku kesal dengannya namun aku tetap mau mengurusnya dengan baik. Setelah itu aku ajarkan dia tiap hari mengaji dan shalat dengan penuh kesabaran, meskipun kadang cara mengambil wudhu masih tidak secara urutan. Dia sudah lupa bagaimana cara berwudhu, terakhir kali dia shalat saja tidak ingat. Aku harus tekun mengajarinya, karena kalau bukan aku sendiri sebagai anaknya yang peduli, terus siapa lagi? Aku harus belajar dari nenekku, kalau nenek saja bisa sabar menghadapi anaknya, aku juga harus lebih sabar menghadapi Ibuku sendiri. Pelan-pelan tapi pasti, aku menuntun Ibu ke arah yang baik meskipun masih ada batu-batu kerikil yang harus ku singkirkan dari jalan yang ku injak. Ibu masih saja berhubungan dengan orang yang membuat dirinya susah, karena Ibu merasa punya hutang dengan mereka. Aku harus mengalami pengalaman yang sangat tidak lucu, pada saat selesai mengajari Ibu ngaji dan shalat. Ibu malah menerima telepon, untuk berangkat ke tempat itu lagi. Rasanya tak kuat diri ini untuk menanggung kesedihan yang membuatku dengan begitu saja mengizinkan Ibu pergi ke tempat tersebut. Sekarang hubunganku dengan Ibu sudah membaik, dia sudah mulai menceritakan semua tentang hidupnya, termasuk nenekku yang paling tegar menghadapi Ibuku juga Ayahnya yaitu kakekku. Kata Ibu, ia juga mempunyai pengalaman yang sama denganku hanya saja Ayahnya itu kasar. Jadi saat kecil dia hanya mendapat kasih sayang dari Ibu yaitu nenekku. Ayahnya yang temperament membuat Ibuku mencari kesenangan diluar, pada akhirnya Ayahnya pergi entah kemana meninggalkan nenek dan Ibuku. Meskipun nenekku baik, tapi tidak dengan Ibuku. Ibuku lebih keras kepala dia menganggap seorang Ibu saja tidak cukup untuk memperhatikannya. Jadi Ibu lebih memilih kehidupan yang membuat dirinya susah sampai sekarang. Ibu dengan aku jarak usianya tidak terlalu jauh, karena Ibu sudah mempunyai anak saat usia 18 tahun, yang sama dengan usiaku sekarang. Maka dari itu aku kadang suka tidak sopan dengannya karena usiaku sama Ibu pun tidak beda jauh, tidak seperti orangtua lainnya. Dan yang diberitahu nenek padaku sampai saat ini ternyata Ayahku bukan meninggal, tapi hanya saja aku tidak tahu dari Ayah yang mana aku terlahir ke dunia ini. Meskipun Ibuku seperti itu, namun disisi lain aku merasa bersyukur karena telah dirawat nenekku. Ternyata semua itu ada sebab akibatnya, aku masih mengizinkan Ibu ke tempat tersebut karena aku merasa ikut juga menikmati hasil dari ia bekerja. Di darahku masih mengalir uang dari hasil pekerjaannya tersebut, tapi ini bukan dijadikan pembenaran. Aku yakin semua ini pasti akan berakhir. Aku bisa sekolah dengan baik sampai sekarang ini karna masih ada hubungannya dengan Ibu kandungku, sebab kalau hanya mengandalkan nenekku berjualan saja tidak cukup. Terkadang aku harus bisa berfikir seperti mata uang yang memiliki 2 sisi, tidak hanya dari sudut pandangku sendiri. Saat ku mengikuti kegiatan keagamaan di sekolahku, aku mendengarkan penceramah yang menceritakan kisah rasul yang cerita nya seperti ini "Ada seorang pemuda bertanya pada rasul: "Ya Rasul, Siapakah orang yang harus aku hormati lebih dahulu?" Rasul pun menjawab 'IBUMU', lalu siapa lagi Ya Rasul? Beliau menjawab dengan 'IBUMU' sampai ketiga kalinya baru 'AYAHMU'." mendengarkan pernyataan ustadz yang menceritakan tentang rasul mengenai Ibu. Membuatku semakin tidak tahu apa yang dirasakan olehku saat ini, Ibu memang harus dihormati karena dia yang melahirkanku. Tapi bagaimana kalau kondisinya seperti Ibuku? Lalu aku coba bertanya saja pada Pak Ustadz soal keadaan hidup yang ku jalani. Beliau menjawab "Seorang bayi tak dilahirkan (kedunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orangtuanya lah yang akan membuatnya menjadi seorang Yahudi, Nasrani, dan Mahjusi. Itu merupakan hadist dari riwayat muslim" Ustadz menjelaskan padaku. Jadi intinya beliau bilang padaku tak perlu khawatir menanggung akan dosa Ibuku, melainkan orangtua ku lah yang menanggung kesalahannya. Aku semakin mengerti mengapa aku dibesarkan oleh nenekku selama ini, karena Ibu tidak ingin anaknya seperti dirinya. Seburuk apapun sikapnya, dia ingin aku menjadi anak yang baik. Setelah beberapa hari kemudian, Hasan memberitahuku bahwa dia sudah melunasi hutang-hutang yang dimiliki Ibuku ke mereka tempat Ibu bekerja. Aku mengucapkan terima kasih sama dia, Aku terlalu banyak berhutang budi, sampai tak tahu dengan cara apa aku membalasnya. Lalu Ibu heran kok sekarang tidak ada yang menghubunginya lagi. Aku bilang "Mungkin mereka juga sudah insyaf seperti Ibu" padahal ku tahu mereka emang ga bakal hubungi Ibuku lagi setelah dilunasi hutangnya, juga sudah diperingatkan oleh Hasan "Ini jumlah uang yang dihutangi Ibu Lola, gue minta perjanjian diatas materai agar lo pada ga perlu ganggu kehidupan keluarganya lagi. Kalo masih nantangin, lu bisa tanggung sendiri akibatnya." kebetulan Ayahnya Hasan merupakan orang yang memiliki jabatan penting, jadi bisa saja mereka diberi pelajaran jika masih mengganggu hidup keluargaku. Ibu masih saja tidak percaya, ia masih menggunakan nomor hp nya itu agar tetap bisa dihubungi oleh mereka suatu saat. Aku tahu Ibu juga khawatir denganku, jadi menurut Ibuku fikir lebih baik ia saja yang berurusan dengan mereka tak perlu aku yang ikut menanggung masalahnya. Tidak terasa akhirnya Ibu lancar mengajinya, juga sudah bisa melakukan wudhu dengan urut. Meskipun gerak shalat masih ada yang kurang, namun perlahan dia bisa lebih khusuk' semenjak tidak di ganggu dengan mereka. Tapi aku lihat wajah Ibu semakin hari semakin pucat, kelihatannya seperti saat nenekku sakit. Aku langsung coba ajak bawa dia berobat saja, karena aku tak mau kejadian itu terulang kedua kalinya.

Photo Credit By: gambarwallhd.blogspot.co.id

Ibuku pun sekarang sudah mulai belajar mengenakan hijab, dia bilang terakhir kalinya ia mengenakan hijab saat Sekolah Dasar itupun kalau sedang mengaji saja. Aku selalu diminta dia untuk lebih rajin mengajarkannya mengaji agar suatu saat dia bisa fasih membaca Al-qur'an. Firasat ku tidak enak, karena semakin hari Ibu sepertinya lebih rajin mendekatkan diri kepada-Nya. Bukan karena itu, tapi Aku juga baru tahu kalau Ibu sedang mengidap penyakit, aku coba bawa dia kerumah sakit, tapi tidak pernah mau. Alasannya dirawat dirumah saja, Aku berharap Ibu tidak akan terjadi apa-apa. Adzan shubuh terdengar aku mengambil air wudhu, lalu melihat Ibu sedang shalat. Mungkin Ibu sedang shalat 2 rakaat sebelum shubuh, fikirku. Lalu aku melihatnya ia sedang bersujud namun rasanya kok lama ya sujudnya, karena aku harus bergantian shalatnya dengan ibu tidak bisa berjamaah. Ternyata setelah beberapa menit aku tunggu tak bangun juga, aku penasaran untuk mendekatinya. Lalu apa yang ku hadapi? Saat aku pegang denyut nadinya berhenti, ternyata Ibu meninggal. ya Ibuku menghembuskan nafas terakhirnya dalam keadaan sujud. Ya Allah, kenapa aku harus mengalami untuk kedua kalinya. Entah harus merasakan kehilangan atau mengikhlaskan karena mungkin saja ini rasa sayang Tuhan pada Ibuku. Tapi aku saja yang selama ini tidak mau memahaminya, beruntung Ibu disisa-sisa akhir hidupnya masih bisa diberi kesempatan untuk menemukan jalan yang baik. Meskipun seringkali aku harus bertengkar bahkan memarahinya. Namun doa ku tak pernah putus sampai saat ini, begitu juga dengan doa untuk nenekku yang terlebih dahulu pergi meninggalkan dunia. Aku teringat dengan perkataan guru ku kalau "Adakalanya orang yang memiliki masa lalu yang buruk, akan menjadi orang yang lebih baik di masa depan. Ucapan Umar bin Khattab" ujar guruku. Kini aku harus menerima semua yang terjadi dalam hidupku, jadikan semuanya sebagai pembelajaran. Yang dimana kita harus berbuat baik sama siapapun, karena kita tidak pernah tahu akan masa depannya mereka seperti apa. Dulu Bibiku yang aku benci, ternyata Ibu kandungku sendiri yang harus aku hormati. Aku kini benar-benar menetap tinggal dirumah Hasan, Dan kakaknya sudah lulus kuliah, rencananya mau balik ke Jakarta. Ya Kak Danovan sekarang telah lulus S2, kalau Aku dan Hasan baru mau mulai masuk kuliah. Terus Hasan bilang sama aku "Sya, kamu masih inget kan sama kakak aku Danovan? Sekarang dia sudah lulus, rencananya mau kesini. Oh ya maaf sebelumnya aku juga kadang suka cerita tentang kamu ke dia, dia menanyakan kamu. Katanya gimana kabar kamu? Aku jawab dia baik-baik saja kak selama masih ada aku. Aku mau kasih tau sesuatu ke kamu. Mau mendengarkannya ga?" ucapnya. || "Iya aku masih inget sama dia, ga terasa ya udah lulus saja. Kamu mau kasih tau soal apa?" Jawabku. || "Aku mau bilang ke kamu sebenarnya kakakku itu sudah lama suka sama kamu, tapi dia belum berani aja ungkapinnya. Makanya aku selain diberi pesan sama nenekmu, juga dititipkan amanah oleh kakakku Novan supaya bisa menjaga kamu selama dia kuliah diluar kota. Kira-kira gimana tanggapan kamu? Kamu suka ga sama kak Novan?" Ujar Hasan. Mendengar pembicaraan Hasan membuatku tak yakin, karena selama ini ternyata ada yang sedang menjaga perasaannya juga selama dia berada disana. Aku bilang saja "Emang rencananya kapan kakak kamu mau datang kesini?" baru aku menanyakan tiba-tiba di depan ada yang mengetuk pintu. "Assalamualaikum.. Bu.. Pak.." || "Tuh dia sudah datang kayanya." kata Hasan. Langsung saja kita berdua ke depan dengan Ibunya untuk melihat siapa tamu yang datang, ternyata benar Ka Novan, sebenarnya dia sudah tiba di Jakarta sejak kemarin namun Kak Novan menginap dulu ditempat saudaranya. Lalu dia bersalaman dengan Ibunya, terus menyapaku "Hei Sya, gimana kabar kamu?" ucap Novan. || "Alhamdulillah baik ka, kabar sendirinya gimana?" ucapku. || "Baik juga, Hasan udah banyak cerita tentang kamu. Dan kayanya aku butuh bicara berdua sama kamu. Bisa?" Kata Novan. || Lanjut di becandain adiknya "Ehemm, baru juga sampai udah buru-buru bicara berdua aja. Aku ga dianggep nih?" ucap Hasan. || "Eh, ada yang kesindir nih kak. Hehe. Iya bisa kak." kataku. || "Sepertinya aku bakalan punya calon kakak ipar yang jago pencak silat nih." tukas Hasan sebelum mengakhiri perbincangan. "Huusshh... kamu suka iri aja ya sama kakaknya." Ucap Ibunya Hasan. Dia juga bilang ke aku, kalau Hasan memang suka bercanda seperti itu. Akhirnya Nasya dilamar oleh kakak nya Hasan, karena memang sudah menyukainya sejak lama. Dan kini Hasan yang melanjutkan kuliahnya di luar kota mengikuti jejak kakaknya. "Saat di hari pernikahanku, aku tidak memiliki siapa-siapa. Ibu dan Nenekku sudah pergi meninggalkan ku terlebih dahulu. Ayah? Aku tidak tahu keberadaan dia dimana sekarang. Mengenal muka dan namanya saja tidak. Aku mungkin akan meminta pada Wali Hakim untuk yang menjadi saksi pernikahanku nanti." Nasya sekarang hidup tinggal bersama Novan. Jadi Hasan tak perlu khawatir saat dia kuliah diluar kota, karena sudah ada kakaknya yaitu Novan yang menjaga Nasya sebagai suaminya. The end.

Note: Ini merupakan Cerita Fiksi, jadi mohon maaf jika ada salah dalam penulisan. Dan Gambar tersebut hanya sebagai Ilustrasi untuk melengkapi jalan cerita. Terima Kasih. 

                           

Post a Comment

0 Comments